Sunday, April 8, 2012

Tugas 2

  • Apa yang dimaksud dengan kemiskinan menurut beberapa ahli?
          Jawab :
                    Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998 : 26). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15 persen di Amerika Serikat dan juga mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Soetandyo Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995:59) mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari Analisis dan kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat. “Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan Membudayakan Keberdayaan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995:59) mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan”. Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinandeterminan sosial-budayanya (seperti posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang itu
sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan ditingkatkannya “Gerakan Membudayakan Keberdayaan” pada lapisan masyarakat bawah.
 
 
  • Maksud pertumbuhan dan pemerataan dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia selama ini?
         Jawab :
                    Tujuan dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama merupakan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah dan eksploitasi sumber daya manusia yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama. Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan. Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar. Pemerataan hasil pembangunan perlu diupayakan supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangynan Indonesia, sebagai contoh dengan mengefisiensikan penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan investasi langsung dan lain sebagainya

Tugas 1

  • Jelaskan mengenai Distribusi Pendapatan Nasional dan Kemiskinan di Indonesia
       Jawab :
        Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparatis (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal  dari munculnya kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan membuat keadaan masalah tersebut semakin buruk, dan tidak jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik. Masalah kesenjangan dan kemiskinan tidak saja dihadapi negara yang sedang berkembang, namun negara yang maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangandan angka kemiskinan yang terjadi,serta kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan ,semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan dan relative kecil dibanding negara yang sedang berkembang,dan untuk mengatasinya terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian masalah ini bukan hanya menjadi internal suatu negara,namun telah menjadi permasalahan bagi dunia intenasional.
         Bagi upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional ,baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan atau pinjaman tersebut justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara yang bersangkutan.Perbedaan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat)  yang memilki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis,yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseibangan baru. Penetapan pajak pendapatan /penghasilan akan memngurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi.Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah asalkan tidak salah dalam pengalokasiannya.

  • Terangkan tentang bagaimana menganalisis Distribusi Pendapatan !
       Jawab :
              Di dalam suatu perekonomian pendapatan tercipta melalui suatu kegiatan produksi. Kegiatan produksi berlangsung dengan bantuan faktor-faktornya, seperti tanah, tenaga kerja, modal dan enterpreneur. Di satu pihak ada perusahaan yang melakukan produksi dan di pihak lain ada kelompok masyarakat selaku penyedia faktor-faktor produksi. Di dalam perputaran kegiatan perekonomian, antara perusahaan dan rumah tangga (masyarakat) terjadi arus timbal balik. Pihak rumah tangga menerima pembayaran atas harga dari faktor produksi yang disediakan berupa gaji/upah, sewa bunga dan keuntungan. Pihak perusahaan menerima pembayaran sebagai harga barang dan jasa yang diproduksikan. Dari proses ini menimbulkan semacam pola pembagian pendapatan, yang pada dasarnya dapat merupakan suatu ukuran tentang keadaan distribusi pendapatan, yang dalam konteks teori ekonomi merupakan salah satu indikator dalam pembangunan ekonomi seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Pada dasarnya ada dua pendekatan analitis di dalam menilai distribusi pendapatan, yaitu:
  •  Distribusi pendapatanfungsional yang berasal dari teori produktivitas marginal, atau lebih dikenal sebagai distribusi balas jasa input dalam teori ekonomi mikro, 
  • Distribusi pendapatan antar kelompok, atau distribusi besarnya pendapatan relatif terhadap total. Pendekatan ini merupakan konsep empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total populasi telah terbagi diantara unit-unit penerima pendapatan. 
           Konsep distribusi pendapatan fungsional adalah sumbangan dari para ahli ekonomi klasik yang tertarik pada distribusi pendapatan di antara penduduk, dandengan anggapan yang disederhanakan yakni pemilikan dari faktor-faktor produksi utama. Konsep dari pendekatan ini, melacak pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh kegiatan produksi yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut. Perangkat analisisnya adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan dalam fungsi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori mendasarinya menilai hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang dihasilkan di dalam suatu proses produksi spesifik. Pendekatan yang lazim digunakan adalah pendekatan kedua, atau distribusi pendapatan antar kelompok.
Pada pendekatan ini ada dua cara yang lazim digunakan untuk langsung menilai status distribusi pendapatan yaitu :
  • penaksiran distribusi persentase pendapatan yang diterima masing-masing golongan. 
  • penaksiran dengan indikator khusus.
       Penaksiran pertama dilakukan dengan membagi kelompok-kelompok pendapatan ke dalam decile atau quantile yang akan menggambarkan pola pembagian pendapatan di dalam suatu kelompok masyarakat. Hasil dari pengelompokkan ini merupakan suatu dasar untuk menggambarkan sebuah kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif yang sebenarnya (actual) antara persentase penerima penghasilan dan persentase jumlah penghasilan yang mereka terima sebenarnya dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Todaro, 2008). Penaksiran yang kedua adalah menilai atau mengukur suatu distribusi pendapatan berdasarkan indikator yang seringkali didekati dengan cara statistik dan cara empiris. Cara statistik terdiri dari range, perbedaan relatif, varian, Koefisien Pearson dan lainnya. Cara empiris meliputi Koefisien Pareto, Koefisien Gini, Index Gibrat, Index Kuznets, Index Theil, Index Oshima dan lainnya. Pendekatan lain yang seringkali digunakan untuk melengkapi kedua pendekatan terdahulu, yakni pendekatan absolut dengan menggunakan ukuran batas kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia. Ukuran yang sering digunakan: kebutuhan kalori dan protein, ukuran Sejogyo dan ukuran dari Bank Dunia. Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini Indeks.

Sunday, April 1, 2012

Perkembangan Ekspor Impor di Indonesia


PENDAHULUAN 
                  A. Latar Belakang
                Negara-negara manapun di dunia ini tentu tidak terlepas dari akitifitas perdagangan dengan negara lain, seiring perkembangannya maka tiap negara memiliki komoditas andalan untuk diperdagangkan dengan negara lain. Setiap negara memiliki sumber daya alam yang berbeda-beda satu sama lain yang tidak terdapat di negara lain, suatu negara yang membutuhkan komoditi yang tidak tersedia di negaranya tetapi tersedia di negara lain, maka negara tersebut akan melakukan perdagangan atau pertukaran komoditi dengan negara lain sehingga terjadilah kegiatan ekspor dan impor tiap negara. Karena pentingnya hal itu maka tiap negara melakukan kebijakan ekspor-impor.
             Sebelum membahas lebih jauh mengenai kegiatan ekspor – impor mari kita pahami terlebih dahulu pengertian keduanya. Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain.  Proses ini seringkali digunakan oleh perusahaan dengan skala bisnis kecil sampai menengah sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat internasional. Sedangkan Impor adalah adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor merupakan bagian penting dari perdagangan internasional. Ekspor impor merupakan kegiatan perdagangan yang memerlukan perhatian khusus bagi pemerintah kita dimana begitu beraneka ragamnya permasalahan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
  • Bagaimana Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia? 
  •  Bagaimana kondisi Ekspor Impor indonesia dewasa ini? 
  •  Apa saja faktor-faktor pendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional? 
  •  Manfaat melakukan Ekspor Impor?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas soft skill dari mata kuliah Perekonomian Indonesia yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Selain itu juga banyak hal yang didapat untuk penulis terutama dalam kegiatan ekspor – impor.



ISI
       1.  Perkembangan Ekspor – Impor di Indonesia
Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Sejak tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspot non migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun 2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun 2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik 17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$.
Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$. Selama lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2008 mencapai 118,43 juta US$ atau meningkat 26,92% dibanding periode yang sama tahun 2007, sementara ekspor non migas mencapai 92,26 juta US$ atau meningkat 21,63%. Sementara itu menurut sektor, ekspor hasil pertanian, industri, serta hasil tambang dan lainnya pada periode tersebut meningkat masing-masing 34,65%, 21,04%, dan 21,57% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
 Adapun selama periode ini pula, ekspor dari 10 golongan barang memberikan kontribusi 58,8% terhadap total ekspor non migas. Kesepuluh golongan tersebut adalah, lemak dan minyak hewan nabati, bahan bakar mineral, mesin atau peralatan listrik, karet dan barang dari karet, mesin-mesin atau pesawat mekanik. Kemudian ada pula bijih, kerak, dan abu logam, kertas atau karton, pakaian jadi bukan rajutan, kayu dan barang dari kayu, serta timah. Selama periode Januari-Oktober 2008, ekspor dari 10 golongan barang tersebut memberikan kontribusi sebesar 58,80% terhadap total ekspor non migas. Dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat 27,71% terhadap periode yang sama tahun 2007. Sementara itu, peranan ekspor non migas di luar 10 golongan barang pada Januari-Oktober 2008 sebesar 41,20%.
Jepang pun masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$11,80 juta (12,80%), diikuti Amerika Serikat dengan nilai 10,67 juta US$ (11,57%), dan Singapura dengan nilai 8,67 juta US$ (9,40%). Peranan dan perkembangan ekspor non migas Indonesia menurut sektor untuk periode Januari-Oktober tahun 2008 dibanding tahun 2007 dapat dilihat pada. Ekspor produk pertanian, produk industri serta produk pertambangan dan lainnya masing-masing meningkat 34,65%, 21,04%, dan 21,57%. Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari-Oktober 2008, kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 64,13%, sedangkan kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 3,31%, dan kontribusi ekspor produk pertambangan adalah sebesar 10,46%, sementara kontribusi ekspor migas adalah sebesar 22,10%. Kendati secara keseluruhan kondisi ekspor Indonesia membaik dan meningkat, tak dipungkiri semenjak terjadinya krisis finansial global, kondisi ekspor Indonesia semakin menurun. Sebut saja saat ekspor per September yang sempat mengalami penurunan 2,15% atau menjadi 12,23 juta US$ bila dibandingkan dengan Agustus 2008. Namun, secara year on year mengalami kenaikan sebesar 28,53%.
Dilihat dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun. Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%. Keadaan impor di Indonesia tak selamanya dinilai bagus, sebab menurut golongan penggunaan barang, peranan impor untuk barang konsumsi dan bahan baku/penolong selama Oktober 2008 mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya yaitu masing-masing dari 6,77% dan 75,65% menjadi 5,99% dan 74,89%. Sedangkan peranan impor barang modal meningkat dari 17,58% menjadi 19,12%.
Sedangkan dilihat dari peranannya terhadap total impor non migas Indonesia selama Januari-Oktober 2008, mesin per pesawat mekanik memberikan peranan terbesar yaitu 17,99%, diikuti mesin dan peralatan listrik sebesar 15,15%, besi dan baja sebesar 8,80%, kendaraan dan bagiannya sebesar 5,98%, bahan kimia organik sebesar 5,54%, plastik dan barang dari plastik sebesar 4,16%, dan barang dari besi dan baja sebesar 3,27%. Selain itu, tiga golongan barang berikut diimpor dengan peranan di bawah tiga% yaitu pupuk sebesar 2,43%, serealia sebesar 2,39%, dan kapas sebesar 1,98%. Peranan impor sepuluh golongan barang utama mencapai 67,70% dari total impor non migas dan 50,76% dari total impor keseluruhan. Data terakhir menunjukkan bahwa selama Oktober 2008 nilai impor non migas Kawasan Berikat (KB/kawasan bebas bea) adalah sebesar 1,78 juta US$. Angka tersebut mengalami defisit sebesar US$9,3 juta atau 0,52% dibanding September 2008.
Sementara itu, dari total nilai impor non migas Indonesia selama periode tersebut sebesar 64,62 juta US$ atau 76,85% berasal dari 12 negara utama, yaitu China sebesar 12,86 juta US$ atau 15,30%, diikuti Jepang sebesar 12,13 juta US$ (14,43%). Berikutnya Singapura berperan 11,29%, Amerika Serikat (7,93%), Thailand (6,51%), Korea Selatan (4,97%), Malaysia (4,05%), Australia (4,03%), Jerman (3,19%), Taiwan (2,83%), Prancis (1,22%), dan Inggris (1,10%). Sedangkan impor Indonesia dari ASEAN mencapai 23,22% dan dari Uni Eropa 10,37%.

       2. Kondisi Ekspor Indonesia Dewasa Ini
           Ekspor Indonesia pada Desember 2010 mengalami peningkatan sebesar 7,36 persen dibanding November 2010, yaitu dari US$15.633,3 juta menjadi US$16.783,4 juta. Bila dibandingkan dengan Desember 2009, ekspor mengalami peningkatan sebesar 25,74 persen.
Peningkatan ekspor Desember 2010 disebabkan oleh meningkatnya ekspor nonmigas sebesar 5,42 persen yaitu, dari US$12.816,9 juta menjadi US$13.511,0 juta. Demikian juga ekspor migas mengalami peningkatan sebesar 16,19 persen dari US$2.816,4 juta menjadi US$3.272,4 juta. Lebih lanjut peningkatan ekspor migas disebabkan oleh meningkatnya ekspor minyak mentah sebesar 6,74 persen menjadi US$1.237,7 juta dan ekspor hasil minyak naik sebesar 59,69 persen menjadi US$470,3 juta, dan ekspor gas naik sebesar 14,83 persen menjadi US$1.564,4 juta. Sementara volume ekspor migas Desember 2010 terhadap November 2010 (berdasarkan data Pertamina dan BP Migas) untuk minyak mentah dan hasil minyak masing-masing naik 1,68 persen dan 72,17 persen, demikian juga ekspor gas naik 10,97 persen. Harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari US$85,07 per barel di November 2010 menjadi US$91,37 per barel di Desember 2010.
         Bila dibandingkan dengan Desember 2009, nilai ekspor Desember 2010 mengalami peningkatan 25,74 persen. Peningkatan ini disebabkan naiknya ekspor nonmigas sebesar 24,58 persen dan ekspor migas sebesar 30,74 persen. Nilai ekspor Indonesia secara kumulatif selama Januari-Desember 2010 mencapai US$157.732,6 juta atau naik 35,38 persen dibanding periode yang sama tahun 2009, sementara ekspor nonmigas mencapai US$129.679,9 juta atau meningkat 33,02 persen.
            Ekspor nonmigas Indonesia pada Desember 2010 ke Jepang, Cina dan Amerika Serikat masing - masing mencapai US$1.721,9 juta, US$1.695,4 juta, dan US$1.300,8 juta, dengan peranan ketiganya mencapai 34,92 persen. Peningkatan ekspor nonmigas Desember 2010 jika dibandingkan dengan November 2010 terjadi ke beberapa negara tujuan utama, yaitu Amerika Serikat sebesar US$176,7 juta; Malaysia sebesar US$169,5 juta; Jerman sebesar US$97,6 juta; Jepang sebesar US$46,4 juta; Inggris sebesar US$12,6 juta; dan Perancis sebesar US$6,3 juta. Sebaliknya, ekspor ke Singapura mengalami penurunan sebesar US$78,3 juta; Korea Selatan sebesar US$77,7 juta; Cina sebesar US$66,0 juta; Australia sebesar US$51,8 juta; Taiwan sebesar US$44,4 juta dan Thailand sebesar US$5,4 juta. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) pada Desember 2010 mencapai US$1.930,6 juta. Secara keseluruhan, total ekspor kedua belas negara tujuan utama diatas naik 2,21 persen. 
Pada periode Januari-Desember 2010, Jepang masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$16.500,5 juta (12,72 persen), diikuti Cina dengan nilai US$14.072,6 juta (10,85 persen), dan Amerika Serikat dengan nilai US$13.327,2 juta (10,28 persen).

      3. Kondisi Impor Indonesia Dewasa Ini
          Keadaan impor di Indonesia tak selamanya dinilai bagus, sebab menurut golongan penggunaan barang, peranan impor untuk barang konsumsi dan bahan baku/penolong selama Oktober 2008 mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya yaitu masing-masing dari 6,77% dan 75,65% menjadi 5,99% dan 74,89%. Sedangkan peranan impor barang modal meningkat dari 17,58% menjadi 19,12%.
            Sedangkan dilihat dari peranannya terhadap total impor non migas Indonesia selama Januari-Oktober 2008, mesin per pesawat mekanik memberikan peranan terbesar yaitu 17,99%, diikuti mesin dan peralatan listrik sebesar 15,15%, besi dan baja sebesar 8,80%, kendaraan dan bagiannya sebesar 5,98%, bahan kimia organik sebesar 5,54%, plastik dan barang dari plastik sebesar 4,16%, dan barang dari besi dan baja sebesar 3,27%.
            Selain itu, tiga golongan barang berikut diimpor dengan peranan di bawah tiga% yaitu pupuk sebesar 2,43%, serealia sebesar 2,39%, dan kapas sebesar 1,98%. Peranan impor sepuluh golongan barang utama mencapai 67,70% dari total impor non migas dan 50,76% dari total impor keseluruhan. Data terakhir menunjukkan bahwa selama Oktober 2008 nilai impor non migas Kawasan Berikat (KB/kawasan bebas bea) adalah sebesar 1,78 juta US$. Angka tersebut mengalami defisit sebesar US$9,3 juta atau 0,52% dibanding September 2008. Sementara itu, dari total nilai impor non migas Indonesia selama periode tersebut sebesar 64,62 juta US$ atau 76,85% berasal dari 12 negara utama, yaitu China sebesar 12,86 juta US$ atau 15,30%, diikuti Jepang sebesar 12,13 juta US$ (14,43%). Berikutnya Singapura berperan 11,29%, Amerika Serikat (7,93%), Thailand (6,51%), Korea Selatan (4,97%), Malaysia (4,05%), Australia (4,03%), Jerman (3,19%), Taiwan (2,83%), Prancis (1,22%), dan Inggris (1,10%). Sedangkan impor Indonesia dari ASEAN mencapai 23,22% dan dari Uni Eropa 10,37%.

4.   Faktor Pendorong Suatu Negara Melakukan Perdagangan Internasional
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
  • Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri 
  • Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara 
  • Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi 
  • Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. 
  • Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
  • Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
  • Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
  • Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
5.   Manfaat Melakukan Ekpor Impor
      Manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut :
  • Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri 
  • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
  • Memperluas pasar dan menambah keuntungan Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri. 
  • Transfer teknologi modern
6.      Problema Ekspor
      Barang-barang yang diperdagangkan ke luar negeri atau di ekspor terdiri dari bermacam-macam jenis hasil bumi disamping hasil tambang dan hasil laut dan lainnya. Kita mengetahui bahwa masalah ekspor itu bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, tetapi hanyalah sebagai ujung dari suatu kegiatan ekonomi yang menyangkut bidang yang amat luas, atau paling banyak dapat dikatakan hanya sebagai salah satu dari satu mata rantai akitifitas perekonomian pada umumnya.
      Hasil bumi misalnya sebagian dihasilkan oleh perkebunan-perkebunan milik pemerintah maupun swasta, sedangkan sebagian lagi oleh petani-petani kecil yang bertebaran diseluruh tanah air. Bahkan hasil-hasil itu masih bertebaran di hutan. Akan tetapi semuanya itu tidak akan menjelma menjadi devisa nyata kalau tidak diusahakan. Hasil-hasil itu setidak-tidaknya harus dikumpulkan lebih dulu sedikit demi sedikit dari tempat kecil yang terpencil di pedalaman. Dari situ harus diangkut ke kota dan kemudian dalam umlah yang agak banyak baru diagkut ke pelabuhan yang terdekat.
Sampai pada taraf itu Indonesia sudah dihadapkan pada masalah-masalah tertentu, yaitu :
A.  Masalah pengumpulan dan masalah angkutan darat
Masalah pengumpulan merupakan persoalan tersendiri, bagaimana caranya mengumpulkan barang itu dari tempat-tempat kecil dan dari produsen yang tersebar itu. Bidang prasarana ekonomi inonesia memang tidak sempurna, sehingga dalam banyak hal menjadi hambatan dalam usaha ke arah perbaikan dalam bidang-bidang lain.
B.  Masalah pembiayaan Rupiah ( Rupiah Financing)
Persoalan pembiayaan ini merupakan pesoalan yang penting pula, apakah keuangan sendiri dari setiap pengusaha cukup kuat untuk membiayainya, ataukah tidak perlu bantuan dari bank-bank pemerintah atau badan-badan keuangan lainnya. Kalau demikian halnya sampai sejauh mana pemerintah dapat memberikan bantuan dalam pemecahan persoalan pembiayaan rupiah ini.
Barang ekspor kita sebagian dihasilkan oleh produsen kecil ataupun hanya dipungut dari hutan-hutan, laut dan sungai. Produsen atau pengumpul pertama itu mempunyai tingkat pengetahuan dan cara pengolahan yang tidak sama, sehingga barang yang dihasilkan belum mempunyai mutu yang seragam, bahkan mungkin sekali belum dilakukan pengolahan sama sekali. Barang masih sedemikian itu sudah tentu belum dapat diperdagangkan ke luar negeri, tetapi masih perlu di olah lebih dahulu.
C.  Masalah sortasi dan Up-grading (sorting & up-grading)
Baik di desa maupun di kota-kota pelabuhan barang-barang yang sudah terkumpul harus disimpan dengan baik dan dimasukkan di dalam karung ataupun peti yang kuat sehingga terhindar dari kemungkinan kerusakan selama dalam penyimpanan atau selama dalam perjalanan. Jadi dalam hal inipun tidak dapat diabaikan persoalan.



KESIMPULAN
      Kesimpulan yang didapat dari pokok pembahasan kegiatan ekspor – impor di Indonesia adalah pembuktian bahwa keadaan ekspor indonesia saat lalu hingga kini menglami perbaikan yang cukup memuaskan dalam segala aspek akan tetapi ada beberapa aspek yang jika dilihat secara mendetail tidak perlu adanya kegiatan ekspor dikarenakan sumber yang sangat memadai, hal demikian bisa dibuat sebagai bahan kajian untuk pemerintah kita untuk lebih meningkatkan aspek tersebut sehingga akan membuat kegiatan ekspor – impor di indonesia menjadi jauh lebih baik. Sedangkan dalam hal impor Indonesia juga memiliki beberapa kekurangan diatas kata cukup yang didapat sehingga perlunya ada evaluasi yang dapat memperbaiki hal tersebut jauh menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) / Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM)

PENDAHULUAN

a.       Latar belakang
Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau sekarang yang sudah berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) merupakan salah satu tindakan yang diambil oleh pemerintah kita untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang membutuhkan di Indonesia. Begitu banyak pro dan kontra yang muncul atas kebijkan yang diambil pemerintah dalam membantu masyarakat di Indonesia. Sebelum kita membahas lebih mendalam mengenai kebijakan yang diambil pemerintah ini mari kita pahami dulu bagaimana BLT/BLSM ini bisa menjadi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kita. Tingkat kesejahteraan di negara kita dianggap masih sangat kuramg dikarenakan masih begitu banyak masyarakat yang memiliki kehidupan yang kurang layak yang diakibat oleh beberapa faktor seperti pengangguran, kelaparan, kemiskinan, dll. Hal tersebut menjadi hal yang paling sering dibahas didalam ruang DPR mengingat tentang bagaimana mencari sosuli untuk mengatasinya, dari hasil yang dibicarakan oleh pemerintah kita maka diambilah sebuah keputuan mengenai subsidi yang diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu yang diharapkan dapat membangun semangat untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik kedepannya.

b.      Rumusan Masalah
Adapun masalah – masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
  • Seefisien apakah pemberian BLT/BLSM untuk masyarakat miskin?
  •  Apakah merupakan beban baru BLT/BLSM untuk masyarakat miskin?
  •  BLT/BLSM sarat kepentingan politik?
  •  BLT/BLSM picu konflik?
  •  Salah kaprahkah pengelolahan subsidi (BLSM/BLT)
  • Pertimbangkan bantuan sosial bersyarat (BLT/BLSM) dan bandingkan dengan BLT/BLSM dinegara lain?

c.       Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas soft skill dari mata kuliah Perekonomian Indonesia yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Selain itu juga banyak hal yang didapat untuk penulis terutama dalam kegiatan ekspor – impor.


ISI
a.       Seefisien Apakah Pemberian BLT/BLSM Untuk Masyarakat Miskin
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) ditengarai bertujuan untuk membantu rakyat miskin menikmati subsidi yang diberikan pemerintah. Demikian dikatakan Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Bambang Widianto. Menurut dia, BLSM adalah pengalihan kompensasi yang tepat guna mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) agar dinikmati rakyat miskin. Bambang mengatakan, ratusan triliun yang dikucurkan pemerintah dalam bentuk subsidi BBM, sebanyak 80 persen dinikmati orang kaya. Adapun warga miskin hanya menikmati sisa kecil dari subdisi yang dikucurkan pemerintah. Karena itu, dia menilai lebih tepat kalau subsidi BBM diganti dengan BLSM, sekitar Rp 18 triliun yang diberikan kepada 18,5 juta warga miskin.
Adapun sebanyak 30 persen warga miskin lapisan terbawah mendapat kucuran dana Rp 900 ribu selama enam bulan atau Rp 150 ribu per bulan. "Pemerintah menilai pemberian subsidi ke orang langsung lebih tepat daripada subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati orang kaya," kata Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (30/3). Pihaknya tidak memungkiri kalau terjadi penyimpangan penyaluran BLSM bakal menciptakan masalah di tataran masyarakat. Namun, mengacu pada data Badan Pusat Statistik 2011, sebagian besar para penerima adalah memang orang-orang yang membutuhkan. Dia melanjutkan, rencana menaikkan harga BBM bukan berarti pemerintah antisubsidi harga premium. Namun, lebih baik kalau efektivitas keekonomian disalurkan dalam bentuk BLSM, yang dijadikan rakyat miskin sebagai tambahan penghasilan untuk membeli bahan pokok.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, mengatakan penetapan 30 persen warga berpenghasilan terendah berdasarkan hasil survei Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011. Di tengah perdebatan hebat bahwa BLSM dipergunakan sebagai isu tumpangan untuk menjalankan agenda politik, dia menilai tudingan itu tidak relevan. "BLSM adalah program pemerintah untuk meredam dampak inflasi dan penurunan daya beli masyarakat yang biasanya terjadi setelah kenaikan harga BBM. "Pemerintah tak sekadar memindahkan beban kepada masyarakat, karena kenaikan BBM berlanjut dengan pemberian paket kompensasi," terangnya.

b.      Apakah Merupakan Beban Baru BLT/BLSM Untuk Masyarakat Miskin
Pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) membebani masyarakat. Beragam konflik sosial baru bakal menghantui pelaksanaannya jika rencana kenaikan harga BBM disetujui. "Dengan BLSM, pemerintah mengalihkan tanggungjawab terhadap masyarakat di bidang ekonomi karena kemiskinan hanya dipandang sebagai sebuah kondisi," jelas Ketua Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi. Menurut Sri, sejak kenaikan harga BBM perdana pada tahun 2005, bantuan langsung menjadi salah satu pilihan dalam paket kebijakan kompensasi. Kali ini penerima bantuannya adalah 18,5 juta rumah tangga.
Palupi melihat di balik niat meredam dampak inflasi dan penurunan daya beli masyarakat dalam waktu beberapa bulan, malah muncul banyak kontroversi. "Kontroversi terjadi karena pencabutan subsidi, terutama di maraknya korupsi dan tingginya beban utang. Sehingga melukai masyarakat karena beban makin besar ditanggung bersama," paparnya. Beban yang dimaksudnya karena pembayaran utang dan bunga dari luar negeri semakin bertambah. Sementara dari sektor internal ada ketidakmampuan mengoptimalkan penerimaan pajak.
Alokasi APBN pun tak mampu memberi perbaikan bagi pelayanan publik
Palupi meminta pemerintah agar mempertimbangkan kembali penggelontoran BLSM untuk tahun 2012 ini. Pasalnya, ada berbagai pengalaman negatif terkait BLT tahun 2004. Mulai dari pencairannya dilakukan jelang Pemilu, akurasi dan validitas RT sasaran menciptakan konflik, hingga adanya penolakan para kepala desa menyalurkan bantuan langsung. Selain membebani pemerintah daerah, Palupi menganalisa timbulnya konflik di masyarakat karena ketiadaan mekanisme komplain. Kondisi ini karena ada berbagai masalah penyaluran di lapangan. Penetapan kebijakan BLSM, imbuh Palupi, tak didasari transparansi perekonomian negara. Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Radja Silalahi, mengakui jika kenaikan BBM membebani ekonomi negara sekitar Rp 150 triliun hingga Rp 370 triliun. Jenis kompensasi berupa bantuan langsung justru efektif secara cepat meringankan beban masyarakat kurang mampu. Pasalnya, data yang dipakai mencakup semua kelompok masyarakat kurang mampu.
Tidak disetujuinya pengajuan pemerintah atas APBN-P berdampak pada program penanggulangan kenaikan harga BBM. Termasuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang pada akhirnya dihilangkan. “Kalau misalnya tidak ada kenaikan, tentu BLSM-nya tidak relevan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, sebelum sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden. Ia menegaskan, program BLSM sangat erat kaitannya dengan kenaikan BBM. Kalau BBM tidak jadi naik, maka BLSM itu menjadi tidak diperlukan. Tak hanya itu, program-program lainnya yang semula disiapkan pemerintah untuk antisipasi kenaikan BBM pun otomatis tidak ada. “Kita bisa me-manage dengan adanya keputusan itu, me-manage yang baik,” kata Hatta. Sebelumnya, pemerintah lewat Menko Kesra, Agung Laksono, menggawangi program penanggulangan kenaikan BBM.
Ada empat program yang disiapkan. Yakni Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang sifatnya cash transfer; penambahan subdisi siswa miskin; penambahan jumlah penyaluran raskin; dan subsidi pengelola angkutan masyarakat/desa. Sebagai tindak lanjut rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) digulirkan. BLSM hampir sama dengan program Bantuan Langsung Tunai yang sudah pernah digulirkan pemerintah pada 2005 dan 2009 lalu. Hanya bedanya, jika sebelumnya setiap kepala keluarga memperoleh Rp100.000, kini meningkat menjadi Rp150.000 dan diberikan untuk setiap warga. Mereka akan mendapatkan selama sembilan bulan. Tercatat 74 juta jiwa bakal mendapatkan kucuran dari pemerintah tersebut. Seperti penyaluran BLT yang sudah-sudah, kantor pos bakal menjadi tempat untuk menguangkan. Berdasarkan data pada 2009, jumlah penerima BLT di Jogja tercatat 19.111 rumah tangga sasaran (RTS), Bantul 63.642 RTS, Gunungkidul 95.374 RTS, Kulonprogo 42.078 RTS serta Sleman 52.446 RTS. Berkaca pada pembagian yang sudah-sudah, banyak masalah timbul dari program pemerintah. Pendataan bagi warga yang berhak mendapatkan BLT itu sendiri seringkali menimbulkan masalah. Banyak warga masyarakat yang berhak justru tidak mendapat, demikian sebaliknya, mereka yang sudah berkecukupan justru mendapatkan. Salah satu contohnya pada pembagian BLT pada 2009 lalu di Kota Jogja, tercatat sebanyak 977 RTS tidak mengambil. Faktor sudah meninggal dan pindah alamat menjadi alasan RTS tidak mengambil haknya.
Meski pemerintah pusat sudah merilis jumlah penerima, hingga saat ini pemerintah di daerah belum mengetahui jumlah warganya yang akan mendapatkan. Padahal dari sejumlah pernyataan dari pejabat di Jakarta, April atau saat harga BBM dinaikkan, menjadi waktu pencairan BLT. Karenanya, mumpung masih ada waktu satu bulan, hendaknya pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus segera mendata secara pasti jumlah penerima. Jangan sampai, program baru justru mendatangkan permasalahan baru di masyarakat. Hindari sedini mungkin konflik di masyarakat dengan cara memastikan data yang valid bagi penerima BLSM. Masalah lain yang terjadi adalah saat pembagian. Meski sudah ada mekanisme yang jelas, korban jiwa masih saja terjadi dalam antrean BLT. Berkaca dari kasus yang lalu juga, mekanisme pencairan hendaknya segera dirumuskan.
Faktor kemudahan pencairan dan manusiawi harus ditekankan dalam proses pencairan. Jangan sampai korban timbul lagi dalam pencairan kali ini. Selain itu, baik pemerintah maupun pihak lain harus mengawasi secara ketat pencairan BLSM kali ini. Pasalnya dalam pencairan program sebelumnya dengan dalih kearifan lokal, pemotongan-pemotongan masih saja terjadi. Jika sejumlah masalah itu tidak diatasi, tujuan BLSM untuk membantu warga miskin justru akan terjadi sebaliknya.


c.       BLT/BLSM Sarat Kepentingan Politik
Proses penyaluran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang rencananya akan dilakukan pada awal April 2012, sarat dengan adanya kepentingan partai politik tertentu. “Ada beberapa partai besar di DPR RI meminta agar penyaluran BLSM tersebut melalui Kementerian Sosial, dan sebagian partai lain meminta agar penyaluran BLSM tersebut harus melalui kepala daerah masing-masing,” kata Koordinator Nasional Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Transparansi BLSM, Willy Kurniawan, di sela-sela acara Deklarasi Satgas Pengawasan BLSM. Menurut dia dengan adanya perbedaan tentang proses penyaluran dana BLSM kepada masyarakat miskin itu, maka parpol akan melakukan negosiasi. “Tarik menarik kepentingan tersebut terjadi dalam pembahasan BLSM di DPR RI. Hal ini terlihat ada fraksi yang menerima dan menolak kenaikan BBM dan fraksi yang lain menanyakan berapa besar bantuan tersebut. Jadi ada dua proses yang berbeda tetapi ada keterkaitan. Ada korelasi positif dari pertentangan ini,” jelasnya. Oleh karena itu, masyarakat juga harus ikut mengawasi agar proses penyaluran dana BLSM itu tepat sasaran. “Kita sudah menghimpun relawan di Jabodetabek yang siap diterjunkan untuk mengawasi penyaluran.
Yang ingin kita lakukan adalah mengumpulkan data, karena kita tahu bahwa data ini sangat rentan untuk dimanipulasi. Jadi kita akan betul-betul mengawasi penyaluran dana BLSM ini agar tidak terjadi penyelewengan,” ujarnya seraya mengatakan agar tidak terjadinya konflik sosial. Menurut dia dalam proses penyaluran dana BLT pada periode lalu banyak sekali permasalahan dalam proses penyalurannya “Kita tahu bahwa yang namanya BLT selama ini banyak masalah. Kita akan mengawasi penyalurannya,” kata Willy. Bukan Penanggulangan Kemiskinan Di tempat yang sama, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto mengatakan pemberian dana BLSM kepada 18,5 juta kepala keluarga yang ada di Indonesia sebesar Rp150 ribu/bulan bukan dimaksudkan untuk penanggulangan kemiskinan. “Bantuan ini diberikan oleh pemerintah untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan, bila terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),” katanya. Menurut dia, metode penyaluran dana BLSM akan diperbaiki, sehingga penyalurannya tepat sasaran.
“Penyaluran dana BLT pada tahun 2005 banyak masalah karena kurangnya pengawasan. Konsultasi kepada pemuka agama juga menjadi masalah karena yang bersangkutan, malah memberikan dana BLT tersebut sanak saudaranya yang seharusnya tidak masuk dalam data penerima BLT,” Bambang. Ke depan, lanjut dia, pihaknya hanya akan berkonsultasi kepada masyarakat miskin, sehingga penyalurannya lebih efektif dan tepat sasaran. Pemberian dana BLSM sebesar Rp150 ribu/bulan selama kurun waktu enam bulan itu akan disalurkan melalui kantor Pos, sehingga masyarakat bisa datang sendiri ke kantor pos terdekat.

d.      BLT/BLSM picu konflik
Proses distribusi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi dapat mengakibatkan terjadinya konflik sosial jika proses penyalurannya tidak tepat sasaran. "Yang namanya BLT selama ini banyak masalah, dan ini akan menjadi parah, karena mengarah ke konflik sosial, karena dampak kenaikan harga BBM ini akan lebih besar dari dampak kenaikan yang lalu. Ini terbukti dengan banyaknya penolakan terhadap kenaikan harga BBM," kata Koordinator Nasional Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Transparansi BLSM Willy Kurniawan saat ditemui dalam acara deklarasi Satgas Pengawasan BLSM di Jakarta. Oleh karena itu pihaknya berinisiatif melakukan pengawasan, agar tidak terjadi masalah kembali terkait penyaluran tersebut, terkait siapa yang berhak mendapatkan bantuan dan siapa yang tidak mendapatkan bantuan.
Karena tanpa diawasi, diyakini akan terjadi pengulangan kesalahan tersebut. "Selama ini kita sudah menghimpun relawan di Jabodetabek yang siap diterjunkan untuk mengawasi penyaluran, yang ingin kita lakukan adalah mengumpulkan data, karena kita tahu data ini sangat rentan untuk dimanipulasi. Jadi kita akan betul-betul mengawasi penyaluran dana BLSM ini agar tidak terjadi penyelewengan,"
Hingga kini belum semua fraksi sepakat dengan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, BLSM dianggap sebagai sebuah alat politik dan menguntungkan pemerintah serta partainya. "Jangan ada partai politik ambil keuntungan dari BLSM," kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung di DPR. Selain soal BLSM, kata Pram, hampir semua fraksi juga mempersoalkan cara pendistribusian. Sehingga hampir dipastikan, semua keputusan bakal diambil di paripurna. "Kita setuju semua bentuk kompensasi itu asal saja itu tepat sasaran," ujarnya. Mengenai postur anggaran yang masih alot di dua opsi, menurut Pram akan menjadi agenda pokok dalam paripurna besok.
Dari dua agenda itu, opsi pertama menawarkan besaran subsidi energi sebesar Rp 225 triliun. Sedangkan opsi kedua adalah Rp 266 triliun.

e.       Salah Kaprahkah Pengelolahan Subsidi (BLSM/BLT)
Tundingan berbagai kalangan bahwa pemerintah lebih gemar memberi ikan daripada menyerahkan kail bukan isapan jempol. Fakta itu bisa kita lihat dari mengototnya pemerintah membagikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ketimbang memberi porsi besar untuk infrastruktur. Pemerintah berniat menaikkan harga BBM Rp1.500 per liter demi mengejar penghematan subsidi sekitar Rp38 triliun. Namun, sebagian besar hasil penghematan itu, yakni Rp25,6 triliun atau sekitar 70%, akan dibagi-bagikan langsung seperti bantuan langsung tunai (BLT) kepada 18,5 juta rumah tangga miskin selama sembilan bulan.
Hanya 5 triliun rupiah yang digunakan untuk kompensasi bagi angkutan umum sisanya digunakan untuk beasiswa, mensubsidi beras bagi rakyat miskin dan untuk tambahan pembangunan infrastruktur. Ironisnya pada saat yang bersamaan pemerintah justru berniat memangkas subsidi pupuk dan benih untuk para petani. Subsidi pupuk yang semula 16,94 triliun rupiah dipangkas dalam rancangan APBN perubahan 2012 hingga 2,98 triliun rupiah hingga menjadi 13,94 triliun rupiah. Subsidi benih yang semula 279,9 miliar rupiah dalam APBN 2012 dipangkas hingga 53,7% atau berkisar menjadi 129,5 miliar rupiah dalam RAPBN 2012.
           Pemerintah beralasan karena rendahnya realisasi penyaluran subsidi pupuk & benih tahun – tahun sebelumnya. Padahal dampak terbesar akibat meningkatnya harga BBM ialah melambungnya harga pangan, lonjakan harga pangan terjadi salah satunya karena produksi pangan yang anjlok lantaran petani mengalami rupa – rupa tekanan seperti cuaca ekstrim, hama, irigasi yang buruk serta harga pupuk dan benih yang sangat maha. Mestinya jika pemerintah ingin mengamankan harga pangan dari lonjakan harga BBM maka produksi pangan harus digenjot, untuk menggenjot produksi pangan maka tekanan bertubi-tubi yang dialami petani harus dihilangkan dan salah satunya memberi subsidi pupuk, benih, dan mengalokasikan dana infrastruktur untuk irigasi yang jauh lebih besar. Karena itu sangat wajar jika petani menolak skema BLT yang kini disebut BLSM sebagai kompensasi kenaikan BBM selain tidak produktif  dan tidak berdampak signifikan. Bagi mereka bantuan darurat yang muncul sebelum kenaikan BBM itu dianggap hanya untuk menyelamatkan citra Susilo Bambang Yudhoyono dan partai Demokrat. Hasil survey menyebutkan jika BLT dipresentasikan sebesar 53,7% responden menyatakan SBY disebutkan sebagai pihak yang berjasa dan 46,7% menyatakan partai demokrat paling berjasa. Subsidi sejatinya ialah suatu usaha bagi rakyat yang didera kesulitan untuk bangkit namun subsidi yang salah kelola dan hanya bagi – bagi uang saja justru melahirkan ketergantungan, kemalasan, dan justru petaka yang berkepanjangan.

f.       Pertimbangkan Bantuan Sosial Bersyarat (BLT/BLSM) dan Bandingkan Dengan BLT/BLSM Dinegara Lain
Pemerintah akan meluncurkan program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Sudah gagal sejak 2005, lebih baik prioritaskan program anti kemiskinan yang berorientasi produktivitas dan jangka panjang. Padahal, kebijakan ini dinilai hanya mengulangi kesalahan di masa lalu. Apalagi tidak ada yang baru dari kebijakan BLSM ini selain jumlahnya yang naik  menjadi Rp 150.000. perbedaannya, kebijakan ini ganti baju dari BLT (2005), BLT Plus (2008), dan BLSM (2012).
Tak pelak, program tersebut langsung menuai kritik berbagai kalangan lantaran diyakini tidak efektif karena memberikan bantuan yang bersifat sementara. Selain itu, pemberian dana tunai melalui program BLT juga telah membentuk budaya sedekah yang mengakibatkan masyarakat menjadi malas dalam berusaha. Kekhawatiran tersebut didasarkan pada pengalaman BLT tahun – tahun sebelumnya yang dinilai gagal. Sudah banyak penelitian dilakukan LSM dalam mengkaji efektivitas program BLT. Intinya kelemahan BLT terjadi disetiap aspek mulai dari tidak akuratnya pendataan rumah tangga sasaran (RTS) hingga pencairan dana di kantor pos.
Database penetapan RTS yang tidak akurat, minimnya petugas pendata, hingga indikator RTS yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang mengakibatkan BLT salah sasaran.  Ada warga yang bukan merupakan warga miskin menerima BLT dan justru yang warga miskin tidak mendapatkan BLT. Hal ini justru akan menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat. Diteknis pencarian dana, sering kali letak kantor pos jauh sehingga menyulitkan warga yang berada dipelosok, terutama kaum manula. Minimnya sosialisasi dari pemerintah menyebabkan antrean membludak pada hari yang sama dan tidak jarang menyebabkan korban jiwa. Padahal BLT tidak hangus dan bisa diambil dilain hari.
Karena itu, pemerintah sudah seharusnya memikirkan program lain yang bersifat jangka panjang. Program sosial tersebut tidak hanya meredam kenaikan BBM, tapi juga membuat masyarakat juga keluar dari kemiskinan. Pemerintah juga ada baiknya mencontoh program bantuan tunai bersyarat untuk pendidikan dan juga kesehatan seperti dinegara – negara lain. Selama ini pemberian dana tunai tanpa syarat boleh dikatakan hanya ada di Indonesia. Di negara – negara lain program bantuan tunai dilakukan secara kondisional  dan bersyarat. Di brasil misalnya program bantuan tunai bersyarat tersebut bernama Bolsa Escola. Ini merupakan program pemberian bantuan tunai kepada penduduk miskin dengan persyaratan tertentu. Mekanisme tersebut mengharuskan penduduk miskin memprioritaskan penggunaan dananya untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini agar masyarakat tidak menggunakan dana tersebut untuk hal yang konsumtif. Program ini juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga dimasa yang akan datang. Pendidikan dan kesehatan anggota keluarga dianggap sebagai aset yang dapat membantu keluarga bersangkutan untuk keluar dari jerat kemiskinan dimasa yang akan datang. Masih banyak program – program sosial bersyarat yang dilakukan dinegara lain. Jika melihat contoh dinegara brasil tadi mengenai mekanisme pemberian dana bersyarat tadi memang tidak memberikan efek yang dapat dirasakan secara langsung namum beberapa tahun kemudian. Program – program tersebut lebih berorientasi jangka panjang dengan tujuan meningkatkan kualitas pembangunan manusia.




KESIMPULAN
Perlunya pengkajian ulang mengenai tidakan yang seharusnya diambil pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan manusia sangat perlu dilakukan. Melihat hal yang diambil saat ini oleh pemerintah mengenai cara peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat kurang tepat dikarenakan hal yang sama pernah dilakukan dan hasilnya pun sangat tidak memuaskan. Solusi yang seharunya dikeluarkan pemerintah saat ini harus yang bersifat jangka panjang yang bukan hanya dapat langsung dinikmati hasilnya saat itu saja oleh penduduk  miskin. Pendidikan dan kesehatan bisa dikatakan sebagai kunci untuk membuat solusi baru dimana dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Indonesia. Mekanisme yang ditawarkan dalam program BLSM pun dapat dikatakan sangat tidak efektif karena banyak BLSM yang jatuh pada sasaran yang tepat dan bisa dikatakan pula kebijakan BLSM yang tidak memiliki  syarat yang kongkrit tentang bagaimana cara memperolehnya justru malah membuat ketergantungan bagi penduduk miskin dinegara kita.